Kamis, 31 Maret 2011

HAK ANAK DILUAR GARIS KETURUNAN

Diasuh oleh: Yeni B. Tavivah SH. M.hum 

PERTANYAAN
saya menikah dengan seorang wanita yang telah mengandung 2 bulan (oleh orang lain)tapi, karena terlanjur mencintainya perempuan tadi saya tidak cerai, sampai anak tersebut lahir .
a. Bagaimana kedudukan anak tersebut terhadap saya dan ibunya ?
b. Apakah anak tersebut mendapat hak waris dari saya ?
c. Siapa hak waris, apabila saya meninggal dalam keadaan tidak punya anak ?

Nama dan alamat ada di Redaksi

JAWABAN 
Pertanyaan saudara di atas masuk dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris. Hukum keluarga, mengatur segala sesuatu yang menyangkut kedudukan hukum dan setiap hubungan hukum dalam ruang lingkup keluarga yang meliputi perkawinan, status a nak, hubungan periparan, hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan anak dengan kerabatnya, tentang perwalian, pengampuan dan pengangkatan anak. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur status anak di dalam Pasal 42, 43, dan Pasal 44. Undang-undang ini mengenal dua macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Siapa yang dimaksud dengan anak sah tercantum di dalam Pasal 42, yang menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Undang-undang tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak, hanya menyebut di dalam atau akibat perkawinan yang sah, dapat disimpulkan pula bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan pun dapat menjadi anak sah kalau kedua orang tuanya kemudian menikah. Juga dapat diartikan anak itu lahir akibat satu perkawinan yang sah antara sepasang suami isteri, meskipun ternyata si anak secara biologis bukan anak dari suami yang mengawini ibu si anak. Sedangkan di dalam hukum Islam ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat menyatakan kesahan anaknya.
Jadi kedudukan/status anak saudara berdasarkan path Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan anak sah dari saudara dan isteri saudara, walaupun secara biologis bukan anak saudara.
2. Dalam hal penentuan sapa siapa yang menjadi ahli waris merupakan bidang kewarisan. Hukum positif Indonesia untuk masalah waris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia (Inpres Nomor 1 Tahun 1991).
Pasal 171 c KHI menyatakan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Karena anak saudara tersebut status nya anak sah menurut undang-undang, maka dia berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh bapaknya.
3. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan: "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan.
b. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. wakaf dan shadaqah.
Jika Pasal 49 UU Nomor 1989 tersebut dihubungkan dengan penjelasan undang-undang tersebut, maka diperoleh kesimpulan bahwa menurut hukum positif Indonesia, orang Islam tidak harus tunduk pads hukum kewarisan Islam apabila mereka hendak membagi warisan. Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain, misalnya hukum kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasarkan KUH Perdata.
Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri diatur , bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, maka yang berhak mewaris adalah ayah , ibu, janda/duda. Bila ayah tidak ada maka saudara sekandung, saudara seibu berhak mewaris.
 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons