Rabu, 06 April 2011

SELAPUT MENDUNG DIPAGIHARI

CERBUNG
Bagian satu
Andai ada rasa haru dalam bahagia, andai ada rasa cinta dalam benci dan andai ada rumput hijau di padang tandus….ah… realita itu sulit sekali untuk terjadi.  Mungkin itu akan terjadi dikala semua manusia sudah musnah ditelan kehancuran.

Memang tak akan ada kebahagiaan tanpa penderitaan, tak akan ada kemajuan tanpa usaha juga tak akan ada cinta tanpa penderitaan. Itu semuanya rumus dalam sebuah kehidupan, dan semua orang pun pasti akan mengalami hal yang sama. Tapi bagi Iwan seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA kls 3, dia tak pernah merasakan kepahitan ataupun penderitaan selama hidupnya. 
Dia dilahirkan di kalangan keluarga yang benar benar maju, bapaknya yang seorang pejabat tak pernah kekurangan oleh materi. Sehingga Iwan pun anak satu satu nya ini tak pernah merasakan sedikitpun kesulitan dalam kehidupanya. Apa pun yang diinginkanya tak pernah ditolak oleh kedua orang tuanya.

Tapi sayang, mengapa tiba tiba saja langit yang cerah itu mendadak mendung dan diliputi awan hitam. Begitu pula rumput yang hijau itu tiba tiba layu dan kering ?
Memang semua itu merupakan hukum alam yang logis atau Takdir dari sang Pencipta. Begitu pula yang dialami Iwan dan keluarganya, dia baru merasakan arti hidup yang sebenarnya. Itu terjadi menimpa keluarga Iwan ketika orang tuanya yang Pejabat tinggi terseret kasus hukum karena korupsi. Lalu apakah sekarang Iwan masih bisa berperan sebagai Pendekar atau sebaliknya ?

Sejak kejadian itu, banyak sekali perubahan yang menimpa keluarga Iwan. Bahkan Iwan sendiri yang sebentar lagi akan memasuki UAS BM terpaksa berhenti meninggalkan bangku sekolahnya juga harus berpisah dengan teman temanya. Kini realita itu dirasakan Iwan sebagai pukulan yang sangat dahsyat, bahkan lebih dari itu ,kejadian tersebut mampu merubah keadaan jiwa Iwan. Dia benar benar frustasi dalam segalanya.

Sehari…dua hari terus berlalu, dan kehidupan keluarga Iwan semakin tambah hancur. Apalagi menghadapi beban menthal yang dialami semua keluarganya. Ahirnya walau harus membawa sejuta kepedihan dalam lubuk hatinya, Iwan pergi meninggalkan rumahnya.
Entah kemana dia harus pergi…..entah kemana dia harus mencari perlindungan dan entah kemana dia harus mencari tempat untuk mengadu. Langit tak mau lagi berseri….Rembulan tak mau lagi diajak bercanda juga mentari dan sejuta bintang, mereka tak mau lagi diajak bercumbu.
Iwan tak habis fikir, mungkinkan mentari akan bersinar dikala dunia sedang dilanda gelap ? Atau akan kah rembulan berseri manakala bintang bintang tak berkedip satu pun juga ? Ah….terlalu realita ini.

Kini keadaan keluarga Iwan bener bener hancur dalam segalanya. Dimata masyarakat sudah tidak ada lagi kepercayaan, bahkan hampir semua bibir seakan mencibir jika bertemu dengan mereka. Sementara Iwan, setelah meninggalkan bangku sekolahnya dia mencoba berperang melawan untuk mempertahankan hidupnya. Dia terdampar di Ibu Kota tanpa membawa apa apa.

Ditempuhnya sepanjang lorong gelap yang becek dan pengap. Sesekali dia harus mengutuk dirinya.
     “ Ya Allah….kemana aku harus pergi ? “ lelaki itu mengeluh sambil duduk termangu di emper kaki lima.

Saat malam sudah hamper larut, Iwan masih termangu di emper kaki lima. Sepasang gelandangan  tengah menanak nasi tak jauh dari nya. Lalu Iwan memperhatikanya penuh teliti, dalam hatinya dia berkata, “ Haruskah aku ikut tidur disini bersama mereka ? Ya Tuhan bantulah hamba Mu ini. Selamatkan aku dari musibah yang tengah kuhadapi sekarang ini. “

Kedua gelandangan itu merasa terus diperhatikan Iwan, lalu gelandangan yang lakinya menghampiri.
     “ Hai anak muda, kenapa kau ada disini ? “ sapanya seperti membentak. “ Apa kau mendapat kesulitan ? “

Hati Iwan merasa tergugah mendengar pertanyaan yang terahir dari gelandangan itu. Rupanya seorang gelandangan pun masih memiliki sifat sifat mulia yang terpuji, bahkan jarang dimiliki oleh manusia yang beradab. “ Ah… sangat baik hati gelandangan itu “ fikir Iwan.
     “ Hai anak muda, kenapa kau ada disini ? “ kembali gelandangan setengah baya itu membentak Iwan dengan pertanyaan yang sama.
     “ Oh…aku…aku…” Iwan gemetar.
     “ Kenapa ? ayo katakana “
     “ Aku tak  apa apa….”
     “ Tak apa apa ?” si gelandangan ternganga. “ Kalau tidak ada apa apa kenapa kau ada di tempat seperti ini ? Oh… rupanya kau pendatang baru yah ? dari mana ? Jawa…Madura atau Kalimantan ?
     “ Nama saya Iwan Pak, saya datang dari Jawa Barat.”
     “ Oh….tapi kenapa kau sampai berada di tempat seperti ini ? “ Gelandangan itu kembali bertanya. “ lalu sekarang kau mau kemana ? “
     “ Entahlah pak, saya bingung tak punya tujuan. “ 
     “ kalau begitu kau tidur saja dulu disini, dan besok pagi setelah matahari terbit kau boleh pergi. “

Memang untuk saat saat seperti sekarang ini Iwan sangat membutuhkan pertolongan, dari siapapun pertolongan itu sangat diharapkanya. Lalu sekarang pertolongan itu datang dari seorang gelandangan.

Nasi yang tengah dinanak didalam sebuah kaleng bekas cet, membuat perut Iwan yang memang sedang dililit lapar bertambah semakin lapar saja.Apalagi di atas nasi itu ditumpangi beberapa ikan asin, sehingga aromanya tercium menambah lapar saja perut lelaki muda itu.
     
     “ Baiklah anak muda, mungkin kau belum makan. “ kembali si gelandangan yang baik hati itu membuyarkan lamunan Iwan, sehingga Iwan tergagap gagap.
     “ Oh…iya…iya pak. “
     “ Tunggu sebentar, nanti kita makan bersama sama.”

Rupanya sudah lama mereka jadi gelandangan, hal itu dilihat dari cara kehidupan serta pakaian nya yang sudah tidak keruan. Namun kayaknya mereka lebih bahagia hidupnya dibanding orang orang yang selalu hidup mewah dengan rumah bertingkat hasil dari korupsi.

Sungguh mereka bisa hidup bahagia dimanapun juga, tidak ambisius, tidak pernah mengeluh, tidak pernah dikejar kejar rasa takut. Dimana saja mereka bisa hidup dengan damai, di kolong jembatan, di emper toko bahkan di gang gang kecil yang bau apek pun mereka bisa nyenyak tidur.

Iwan teringat saat dia masih aktif di pramuka, dia pun pernah seperti mereka, Tidur di bukit sambil menanak nasi di kaleng. Ah….hati pemuda itu jadi tergugah akan masa lalunya di saat jaya. Namun sekarang, apalagi yang bisa dia banggakan ? Harta ? sudah musnah. Pangkat dan jabatan ayahnya ? juga sudah tiada….lalu apa lagi yang masih tersisa dalam hidupnya sekarang ini ? Memang begitulah sifat dan kebiasaan manusia, penyesalan selalu datang di ahir segalanya.
    
      “ Hai anak muda, jangan ngelamun saja. Ayo kita makan mumpung masih hangat segalanya. “

Tanpa menunggu ajakan yang kedua kalinya, Iwan segera mengambil nasi liwet dihadapanya dengan menggunakan tutup kaleng bekas sebagai alas nya. Dilalapnya dengan lahap nasi itu, lalu setelah itu Iwan tertidur pulas.

Manakala fajar sudah mulai menyingsing, dia berkemas kemas untuk meninggalkan tempat itu. Namun dalam hatinya Iwan bingung, tempat mana lagi yang harus dan akan ditujunya nanti ? Sementara sepasang kakinya sudah terasa sakit dan pegal. Tapi jauh di lubuk hati pemuda itu masih tersisa rasa optimis.Dia yakin, suatu saat nanti dia pasti akan bisa kembali menggapai segalanya.

Ditempuhnya sepanjang jalan yang sudah mulai dibanjiri kendaraan dan pejalan kaki. Dipinggiran sebuah toko yang belum buka, dia berhenti melepaskan cape dan rasa pegal yang sudah mulai menjarah sepasang kakinya. Tak sadar dibukanya kantong yang dia bawa dari rumahnya, oh isinya Cuma beberapa potong pakaian saja serta sebuah album photo yang kecil. Lalu dibukanya album itu satu persatu, terpampang wajah wajah yang sangat dia cintai termasuk photo seorang gadis teman sekelasnya. Anita nama perempuan itu.  Seorang gadis yang benar benar sudah singgah dalam hatinya. Ditatapnya photo gadis itu lama sekali, tanpa disadari beberapa tetes air membasahi kelopak matanya.
Teriknya udara terasa membakar tubuh Iwan, padahal saat itu waktu masih teramat pagi. Dengan sebuah saputangan dekil, dihapusnya butiran butiran keringat yang terus membasahi sekujur tubuhnya. 
     
     “ Ya Allah….bantulah hamba Mu yang lemah ini, tunjukan jalan yang lurus serta berikan kekuatan.”
Kini kehancuran seakan benar benar sudah tiba dihadapan Iwan, dan kebahagiaan yang dulu pernah singgah dalam kehidupanya kini benar benar sudah sirna dan tidak mungkin akan kembali lagi. Lalu mungkinkah kebahagiaan akan kembali datang menyapanya ?

Pada hakekatnya, semua manusia yang hidup di atas bumi ini menginginkan kebahagiaan yang abadi. Tapi Tuhan tidak demikian, Dia sungguh adil dan bijaksana. Segala sesuatunya telah diatur sedemikian rupa Memang ada sebagian orang berpendapat, bahwa Takdir itu tidak selamanya datang dari Tuhan, termasuk yang dialami oleh keluarga Iwan. 

Dengan tubuh yang bermandikan keringat, Iwan terus melangkahkan kakinya dengan tujuan yang tidak tentu. Beberapa anak sekolahan sudah mulai berhamburan menuju sekolahnya masing masing. Iwan benar benar tergugah hatinya, ingat akan masa masa lalunya disaat dia masih jadi anak yang terpandang. Dia benar benar protes terhadap kenyataan yang dialaminya sekarang ini, “ Ibu…akan kah aku kembali seperti mereka ? akan kah aku bisa kembali mencicipi kebahagiaan seperti yang sudah Tuhan berikan dulu pada kita ? “ Kembali sepasang matanya dibasahi air bening.

Sambil mencucurkan air matanya dia terus berjalan. Dan manakala dia berhenti dia berada didepan sebuah Toko Cina. Lalu dalam hatinya timbul keinginan untuk coba coba mencari pekerjaan. Dia memasuki toko itu  dengan sisa keberanianya dia melamar untuk menjadi pembantu. Namun sayang dia tidak diterimanya dengan alasan  tidak membutuhkan tenaga baru.
Dengan membawa kekalahan, Iwan kembali berjalan meninggalkan Toko itu. Lalu kembali beberapa toko dimasukinya. Namun sayang jawabanya hampir sama, belum membutuhkan tenaga baru. Sakit sekali perasaan yang ada di hati Iwan, namun dia tetap optimis. Dia tidak mau tersandung kesalahan yang kedua kalinya..(bersambung).-
   

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons